Mengembangkan pelayanan dengan pilar : pembaruan, perdamaian dan pemberdayaan di tengah-tengah masyarakat majemuk*)

Oleh:

Pdt. Maulinus Siregar

The church of today is expected to provide a change in the inner orientation and the whole mentality of its people so that they may participate to promote a new orientation of life. (Binsar Nainggolan)

Pengantar

Judul di atas adalah merupakan penjabaran tema sentral HKBP menjadi sumber berkat. Lalu kemudian diperluas dengan misi 3P ( pembaruan, perdamaian dan pemberdayaan ). Sejak awal visi menjadi sumber berkat dan misi 3 P ini digagas, kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh pimpinan baru HKBP periode 2012-1016 untuk dioperasionalisasikan-diimplementasikan ke dalam seluruh tata kelola pelayanan dari tingkat huria-hatopan, sudah termasuk di dalamnya seluruh lembaga yang berafiliasi dan dikelola HKBP. Pembaruan, Perdamaian dan Pemberdayaan ( 3P ),  yang digadang sebagai pilar utama yang menjiwai, mewarnai dan mengerakkan seluruh program, rencana dan kegiatan HKBP pada rentang waktu 2012-2016, sehingga visi dan misi HKBP dapat mewujud dalam bentuk partisipasi seluruh warga HKBP yang semakin pro aktif dan aktif merealisasikan kehidupan jemaat yang missioner, serta mampu hidup secara ko-eksisten dengan sesama di sekitarnya dan di tengah-tengahnya. Hubungan yang ideal semacam itu, boleh dicapai apabila HKBP, dengan ihtiar yang sungguh-sungguh dan kerja kreatif, melalui perubahan mindset, cara merespon setiap perbedaan dengan kebeningan hati dan kejernihan pikiran. Dengan istilah yang lebih tegas : mau berubah menuju kebaruan. Langkah kebaruan hati dan pikiran serta sikap membuka diri akan menyemai pijar perdamaian dengan setiap komunitas/kelompok/masyarakat yang heterogen dan majemuk. Dengan itu, HKBP akan menghadirkan dirinya menjadi berkat bagi bangsa dan Negara. Dan inilah tema sentral pengejewantahan visi  pimpinan HKBP 2012-2016. Namun, tujuan ini hanya boleh tercapai, bila seluruh pengerja HKBP ( khusus : pelayan penuh waktu ) dengan warga jemaatnya, bersedia secar terus-menerus untuk memperbaiki dan mengembangkan kualitas dirinya, baik melalui pengembangan pengetahuan/skill dan kemampuan berkomunikasi/berelasi serta membangun jaringan yang makin luas dan menglobal dengan segenap komunitas dunia, khususnya : komunitas agama. Itu akan menjadi modal dasar kita untuk boleh dilanjutkan dengan kerja optimal supaya boleh mewujudkan HKBP menjadi sumber berkat bagi semua. Kehadiran HKBP di tengah-tengah lingkungannya, dalam artian yang lebih konkrit hidup bersama seluruh masyarakat yang majemuk: adat, social, budaya, agama dll, tidaklah menjadi sebuah ancaman atau dianggap sebagai musuh, melainkan sesama-saudara sebangsa yang disambut kehadirannya bersama mereka. Dalam konteks pelayanan HKBP di dalam dirinya, adalah sebuah tanggungjawab bersama seluruh pengerja HKBP yang penuh waktu untuk menggumuli dengan serius dan sungguh-sungguh, bagaimana kesiapan kita untuk berubah dan mengembangkan potensi atau talenta kita secara optimal untuk menghasilkan pelayanan yang kreatif dan dapat menjawab tantangan kebutuhan warga jemaat kita masa kini, di tengah-tengah ganasnya persaingan dengan begitu banyak aliran baru yang terus bertumbuh dan  berkembang, bagai jamur di musim hujan. Bahkan di kota Tarutung sekalipun, sudah muncul aliran-aliran Kristen baru, termasuk perkembangan agama isalam yang terus meningkat. Ini sebuah peluang, bukan ancaman. Supaya kita ditantang untuk lebih sungguh-sungguh dan dengan program terencana mengembangkan pelayanan yang menyeluruh untuk menjawab kebutuhan masyarakat/jemaat di sana.  Karena itu,  HKBP sebagai institusi religius Kristen terbesar di Indonesia, seharusnya lebih bertenaga dan berkemampuan lebih bila dibandingkan gereja-gereja kecil lainnya untuk lebih banyak berkiprah dalam kehidupan bangsa, masyarakat dan gereja. Jadi HKBP harus berani keluar dari ranah amannya, tembok-tembok yang mengekang dirinya. HKBP harus bersedia mengubah dirinya supaya mampu menjadi sumber berkat.

Mapping the way ( peta jalan )

Ada sebuah anekdot yang beredar dikalangan rabuni Yahudi. Dan itu berangkat dari sebuah pertanyaan sederhana, oleh karena keingintahuan dan rasa penasaran, yaitu :  mengapa bangsa Israel memerlukan 40 tahun lamanya agar sampai di tanah perjanjian ? Jawaban seorang Rabunis demikian : “ karena bangsa itu tidak pernah bertanya bagaimana direction/petunjuk arah ke sana dari Tuhan.” Akhirnya mereka berputar-putar dan kerap berbalik arah ke titik berangkat sebelumnya, selama 40 tahun, demikian bangsa Israel, akhirnya tiba di tanah perjanjian setelah perjalanan panjang di gurun pasir.

Anekdot ini bagi saya sederhana, tetapi perlu dicermati dengan baik. Sebab, makna yang dikandungnya sangat luas, dalam dan mengakar dalam kerangka kehidupan dan eksistensi HKBP sebagai gereja, yang dipanggil untuk menjadi berkat bagi semua orang. Namun, apa yang terjadi dan kita alami bersama sepanjang 5 dasawarsa terakhir ini adalah, berbagai : konflik, yang mengakibatkan rusaknya : persekutuan dan tertinggalnya HKBP dalam bidang pemberdayaan : human resources dan juga penyiapan infrastruktur seperti : alat-alat tehnologi, administrasi, sistim keuangan, sistim kepersonaliaan, dan pusat dokumentasi/sejarah, dll. Inilah kenyataan yang kita hadapi hingga saat ini, betapa ironisnya, manakala eksistensi HKBP sebagai gereja terbesar di Indonesia dilihat di permukaan, dibandingkan performanya sebagai gereja yang masih perlu dibenahi terus supaya mampu menjadi gereja yang menjadi sumber berkat bagi sesama, khususnya di tengah-tengah tantangan hidup bersama orang lain, dalam lingkup masyarakat majemuk.

Sehubungan dengan itu, maka perlu dilakukan pemetaan. Dan pemetaan ini sangat penting dibuat untuk memahami suatu keadaan-situasi sebelum kita melakukan suatu rencana pekerjaan/tindakan.  Ambil contoh seorang pelayanan penuh waktu yang ditugaskan di sebuah jemaat baru, maka langkah pertama yang akan dilakukan, dan sebaiknya haruslah demikian,  adalah belajar untuk memetakan lapangan pelayanan di sana. Pemetaan itu bisa memakan waktu yang lama, namun bisa juga dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat. Jadi itu akan sangat tergantung dengan dinamika yang ada di dalamnya, lebih-lebih lagi mental dan mindset pelayanan yang akan bekerja di sana. Manakala dinamikanya amat kompleks dan rumit, maka waktu yang dibutuhkan, bisa berlangsung lama. Sebaliknya apabila dinamikanya sederhana, maka waktu pemetaan yang dibutuhkan, kemungkinan tidak akan berlangsung lama. Tetapi, dengan memetakan keadaan di sana, maka hal itu sudah mengandaikan bahwa setahap pelayan itu telah dapat menggambarkan keadaan umum pelayanan ( sudah ada semacam common sense= pengetahuan umum kita ) di sana dan bagaimana dia memulai pelayanan di situ, dengan asumsi-asumsi dasar awal, apakah yang perlu dilakukan segera, dan apakah yang butuh dikerjakan secara berkelanjutan, serta apa yang perlu ditunda/dibelakangkan atau dikerjakan kemudian.

Peta jalan HKBP, setidaknya untuk masa 2012-2016, boleh kita lihat dari buah pikiran yang disampaikan oleh Ephorus HKBP : Pdt.W.T.P.Simarmata, MA pada kegiatan kuliah umum yang disampaikan di STT HKBP beberapa wakta yang lalu ( 25 Januari 2013, kutipan dari harian SIB Medan ), antara lain :  visi HKBP menjadi sumber berkat harus dijiwai oleh misi yang harus dikerjakan dalam tiga pilar, yaitu : pembaruan, perdamaian dan pemberdayaan. Selanjutnya Ompui Ephorus mengelaborasinya, sbb :

1).  Pembaruan yang dimaksud adalah pembaruan pelayanan yang dilaksanakan seluruh pelayan HKBP.  Karena itu, pembaruan harus dimulai dengan mengamandemen bahkan mengganti Aturan dan Peraturan (AP) yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan  pelayanan. Misalnya, kata beliau, dalam AP HKBP disebut tugas praeses, pendeta resort dan guru jemaat adalah memimpin(manguluhon). Idealnya, tugas para pelayan adalah menggembalakan (marmahani), jadi menyangkut tugas para pelayan itu harus diamandemen pada AP HKBP.

2). Perdamaian, Ephorus menyebutkan HKBP terlebih dahulu harus berdamai dengan dirinya baru kemudian berdamai dengan sekitarnya. Dicontohkannya, dalam Sinode Agung (SA) HKBP yang berlangsung  September 2012, masih ada pelayan yang mengarahkan pemikiran mengingat-ingat masa krisis HKBP. Dikatakannya, seluruh pelayan HKBP, agar menjadi berkat harus melupakan krisis perpecahan di HKBP di masa lalu dan jangan mewariskannya kepada generasi muda.”Dalam pertemuan dengan para praeses HKBP, saya sudah himbau agar praeses  menjadi orang pertama yang mengajak semua pihak melupakan krisis tersebut. Jika tidak, berarti praesesnya gagal. Tidak ada lagi pendeta HKBP A atau pendeta HKBP B; yang ada adalah pendeta HKBP,” tegasnya. Pada penempatan pelayanan, lanjut Pdt Simarmata akan melihat track record pelayanan  .

3).  Pemberdayaan, katanya, pihaknya memprioritaskan pelayanan nonspritualitas warga HKBP.  Diceritakannya, ephorus pertama HKBP, Pdt Dr IL Nommensen, selain memenuhi kebutuhan religiusitas orang Batak juga berupaya mensejahterakan masyarakat berupa pendirian sekolah dan pengusahaan pengobatan.  Karena itu, katanya, HKBP dewasa ini harus peduli dengan kemakmuran warga gerejanya. Katanya, pemberdayaan ekonomi warga gereja menjadi prioritas berupa pendirian credit union (CU) yang dikelola gereja HKBP. Dengan demikian, lanjutnya, ke depan HKBP bisa berdaya dan berkualitas.

Elaborasi Ephorus di atas, setidaknya punya argumentasi yang masuk akal untuk mengingatkan kita, supaya kita bersedia membuka hati, pikiran  untuk langkah-langkah perubahan yang diperlukan dalam usaha memperbaiki dan merubah keadaan kita yang masih jauh dari sempurna. Instrumen perubahan itu, menurut Ompui justru dimulai dari Aturan Peraturan ( selanjutnya baca AP ) kita saat ini, yang ditengarai beliau justru tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan kita saat ini. Perubahan AP ini sangat mendesak untuk dilakukan. Perubahan AP akan lebih membawa HKBP kepada pengaktualan pelayanannya bagi warga jemaat dan masyarakat. Meskipun harus kita berita catatan kritis terhadap usul Ompui Ephorus untuk menghidupkan kembali Parhalado Pusat ( majelis pusat dahulu ). Maksud beliau memang baik, agar ada badan yang mengawasi Ephorus/pimpinan. Bahkan beliau dengan lugas dan tegas menantang, bahwa bila penting Ephorus dapat diturunkan di tengah jalan bila tidak dapat menjalankan amanah yang diembannya. Inilah resiko/konsekwensi sebuah perubahan tata kerja organisasi apabila sudah dilakukan perubahan. Menurut asumsi saya ini adalah salah satu upaya mendesakralisasi jabatan ephorus, agar lebih fungsional dan lebih lentur untuk menjalankan perannya di dalam pelayanannya sebagai pimpinan tertinggi dan penanggungjawab akhir dalam struktur organisasi HKBP. Perubahan yang dituju bukan sekedar tata kelola organisasi, namun sangat diperlukan eksplorasi teologi, agar kita boleh membangun suatu usaha berteologi, lebih-lebih mencari model ekklesiologi HKBP yang sanggup ‘berjumpa’, dan ‘berdialog’ dengan masyarakat majemuk. Perubahan lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah : orientasi teologi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Teologi. Meminjam bahasa Robert J.Schreiter, diperlukan suatu rekonstruksi teologi, yaitu tahapan yang semesetinya disiapkan untuk membangun teologi local ( baca : teologi HKBP ), yang tentu sekali juga harus dikerjakan dalam proyek inkulturasi.

Kesiapan teologi local dan ekklesiologi HKBP ( tentunya harus memperhatikan konteks kemajemukan masyarakat kita )  yang baru akan mampu mewarnai sikap gereja kita untuk lebih  terbuka berelasi dengan agama-agama dan menjelasi ‘arah’ bergereja bagi ribuan pengerja penuh waktu HKBP untuk tampil dalam berbagai aras pelayanan : formal dan informal.  Kita boleh berkiparah dalam banyak sisi pelayanan kita : di gereja dan masyarakat ( social, politik, budaya, dll ) . Sehingga, kita boleh menjadi berkat bagi semua.

Dengan perdamaian, kita awali dengan perdamaian dengan diri kita. Perdamaian itu tentu sebaiknya boleh dimulai dengan diri kita sendiri  berhadapan dengan masa lalu kita yang diisi dengan berbagai peristiwa menyakitkan, buruk, traumatis dan dendam. Tahun 1998 adalah titik balik yang paling menentukan dalam peletakan langkah-langkah awal membangun dan merajut kehidupan bersama kembali setelah pergolakan, pertikaian, permusuhan selama 6 tahun ( meskipun dua Doktor HKBP dalam disertasi mereka masih menguji secara kritis dari perspektif akademis rekonsiliasi HKBP 1998 dalam disertasi mereka : Binsar Pakpahan dan Fridz Sihombing ). Setelah 15 tahun rekonsilasi berjalan dan berlangsung, maka kita telah dapat merasakan  persekutuan yang makin hangat dan kehidupan di tengah-tengah jemaat yang semakin baik, demikian juga kehidupan para pelayan penuh waktu HKBP. Meskipun harus secara jujur kita akui, bahwa masih diperlukan upaya  terus-menerus untuk penyembuhan yang lebih sempurna lagi atas luka-luka masa lalu itu.  Sehingga perdamaian yang bersumber dari kasih Kristus di kayu salib itu boleh mengingatkan kita untuk ‘berani’ mengampuni sesama kita dan mengingat secara kreatif permalasahan kita di masa lalu agar berjuang dengan sekuat tenaga, meninggalkan sifat buruk dan mendahulukan karya mas kebaikan-kemaslahatan bersama.

Dengan pemberdayaan, Ephorus mengkostatir apa yang dahulu dikerjakan Rasul Nommensen di tanah Batak. Nommensen tidak cukup hanya berkhotbah, tetapi dia juga mengangkat kehidupan warganya di huta dame, melalui pembinaan-pemberdayaan para penduduk dengan mengajarkan : cara bertani yang baik, cara bertenun, cara memelihara kebersihan, kesehatan dan membuka sekolah serta pusat pengobatan. Bahkan budak-budak ditebus ( transformasi social ), lalu dijari dan dipulihkan kembali haknya sebagai manusia merdeka.  Usaha-usaha seperti yang dilakukan rasul Nommensen itu ingin kita revitalisasi dengan berbagai kegiatan pemberdayaan ekonomi rakyat  semacam kredit union. Atau juga usaha-usaha pengobatan lainnya, termasuk pemberdayaan petani/buruh. Kesejahteraan warga jemaat, tentu sekali akan sangat berpengaruh bagi kehidupan persekutuan dan partisipasi pelayanan mereka di dalam gereja. Gambaran idealnya : kualitas pelayanan yang baik dan kualitas jemaat yang baik akan menghasilkan pelayanan yang semakin meningkat atau berkembang. Pemberdayaan di bidang peningkatan kualitas pelayanan HKBP juga mulai dibenahi dengan baik. Pengiriman pendeta, dosen, atau pun warga jemaat kita lainnya untuk peningkatan mutu sumber daya kita menjawab tantangan yang terus berkembang. Pemberdayaan itu juga harus meluas kepada potensi warga jemaat kita yang boleh diikutkan dalam pengembangan visi HKBP supaya menjadi sumber berkat. Diantaranya : melibatkan mereka dalam mengelola credit union, pengembangan masyarakat seperti : pelatihan petani, pendampingan buruh, pegiat-pegiat lingkungan hidup, guru-guru yang bekerja untuk anak-anak yang kurang beruntung mendaptkan pendidikan di sekolah formal. Atau juga perlunya melatih tenaga sukarelawan yang dapat sewaktu-waktu membantu masyarakat yang menghadapi bencana alam, dll.

Pelayanan yang berkualitas Penuh

Kita telah melihat beberapa direction/petunjuk arah kehidupan menggereja kita di masa depan telah dirumuskan dalam hidup menggereja kita, khususnya dalam rentang waktu 2012-2016, yaitu : menjadi sumber berkat dengan visi : pembaruan, perdamaian dan pemberdayaan. Direction ini mengundang kita  bergerak dan bergegas dengan cepat untuk melakukan pembenahan diri.  Terutama, peningkatan diri kita dan pendekatan kelembagaan yang juga kita harapkan cerdas mendesain perubahan itu di level paling atas dan juga di bawah.  Pelayanan berkualitas penuh, mengandaikan sebuah keadaan dimana para pelayan HKBP di semua aras pelayanan dituntut untuk belajar memperlengkapi diri dengan berbagai kecakapan/keualifikasi yang diperlukan agar dapat menghasilkan atau berkreasi  secara total di setiap lapangan penugasan yang diembannya.  Baik di di tengah-tengah jemaat, lembaga, sekolah-sekolah/universitas, atau pelayanan informal lainnya. Setiap usaha pelayanan kreatif kita harus disiapkan dengan perencanaan yang baik karena ada didorong oleh dan dengan kehendak yang baik supaya apa yang dihasilkan boleh menjadi sumber berkat bagi setiap orang yang dilayani.  Kita tidak melihat lagi pelayan ( pangula na gok tingki ) yang hanya mempersiapkan diri dengan setengah hati, atau dengan pameo yang terlanjur akrab di telinga kita : “marnida dilapik” ( lihat nantilah ). Atau “ ai margira tudia” (  mau kemana buru-buru ).

Sebuah ilustrasi keberhasilan Dr.Walt Kallestad, pendeta senior di Community Church of Joy di Glendale, Arizona. Setelah melayani selama 16 tahun, dia dapat menambah anggota yang bergabung ke gereja tersebut dari 200 orang menjadi 700 orang dan beberapa ribu orang yang berkunjung karena beranggapan bahwa gereja Community Church of joy ini menjadi gereja mereka. Peningkatan ini menjadi yang terbesar bagi anggota gereja Lutheran di Amerika. Ketika ditanya, apa kiat keberhasilannya ? Dia menjawab diantaranya : Konsitensi menjalankan prinsip-prinsip : Manajemen mutu terpadu-total quality menegement. Selain terutama, tentunya karena buah pekerjaan Roh Kudus. Pekerjaan mereka awali dengan angan-angan. Kemudian mewujud dalam bentuk visi. Lalu melalui visi itu direncanakanlah apa langkah-langkah yang diambil. Secara ringkas langkah-langkah sederhana yang diambil antara lain sbb : 1). Bertindak segera memenuhi kebutuhan, mis : warga jemaat butuh tempat. 2). Antisipasi dan harapan, satuan-satuan yang dibutuhkan dalam menejemen gerejawi diambil melalui perencanaan mutu dan konsultasi dengan pakar. 3). Kepemimpinan, pimpinan yang mampu memahami masalah.4). evaluasi atas hasil-hasil, data yang objektif dan terukur dinilai secara cermat. 5). Pelatihan, pendidikan dan pengembangan,  6). Transformasi.

Penerapan langkah-langkah di atas menjadi penting manakala kita ingin mengejar raihan dalam pelayanan kita secara terukur. Dalam kondisi seperti ini, pelayan yang diberi kemampuan untuk memenuhi langkah-langkah di atas menggandaikan seseorang yang punya kecakapan kepemimpinan dasar dan cermat melihat setiap perkembangan dalam kehidupan pelayanannya. Lantas, pertanyaanya kita apakah kualifikasi akademis berkorelasi dengan capaian yang boleh diraih dalam konteks pelayanan kita ? Sesungguhnya, jawabannya tidak selalu. Apabila kita belajar memahami konteks pelayanan jemaat dengan pesan iman yang diwartakan, bukanlah semata-mata mengandalkan argumentasi akademis melulu, melainkan lebih banyak dijelaskan secara masuk akal setelah hidup di dalam jemaat dengan segenap dinamikanya. Sebuah pengalaman menarik dari Juergen Moltmann, yang dituliskannya dalam bukunya : Experiences in Theology. Moltmann lama menolak tentang gereja, jemaat dan kependetaan. Namun di tahun 1953 dia melayani sebuah jemaat kecil di Bremen. Namun, di situ ia mulai belajar dengan kehidupan orang yang biasa dan umat yang sederhana. Di sana ia bisa mengembangkan ‘teologi umat’ dalam perjuangan mereka bagi keluarganya, anak-anaknya, kecemasan-kecemasan mereka. Dan di jemaat itu Moltmann dapat mengembangkan “lingkaran hermenutis” dalam memahami teks. Dalam kajian akademis, ia biasa melakukan antara interpretasi teks dengan interpretasinya sendiri terhadap penafsir itu. Kini di jemaat ia melakukan dengan mempersiapkan khotbahnya dengan sebuah eksposisi dan diperhadapkan dengan pengalaman yang dibagi bersama setiap warga jemaat, di dalam keluarga mereka, tetangga, dan di dalam pekerjaannya.  Dan dengan mengalami pelayanan di tengah-tengah  umat percaya, yang tertekan, yang perlu bimbingan, ia dapat mengalami sebuah  situasi yang digambarkannya sebagai ‘a shared thelogy’ dari orang-orang percaya, peragu dan tertekan sekalipun

Peningkatan kualitas pelayanan, mengandaikan kesungguhan setiap pelayanan untuk terus bersedia belajar dan semakin meningkatkan mutu jawabannya terhadap panggilan  Tuhan atas dirinya untuk memberikan pelayanan yang berkualitas bagi umat/jemaat, dan tentu sekali kemuliaan bagi Tuhan. Hamba yang setia adalah hamba yang mengemban amanat tugas itu dengan baik dan bertanggungjawab. Sehingga, ketika tuan yang memberi talenta itu akan merasa bahagia melihat sebuah amanat diemban dengan baik dan menghasilkan buah.

Karena itulah, HKBP diharapkan boleh menyiapkan berbagai jenis pelatihan, kursus, lokakarya dan seminar lain yang sifatnya dapat mengupgrade ‘ketrampilan/pengetahuan’ pelayanan penuh waktu, sehingga mereka semakin diperkaya untuk memahami/memetakan pelayanan serta dipertajam dengan kemampuan analisis lapangan sebelum merancang sebuah sistim pelayanan di dalam jemaat. Berbagai bentuk pelatihan itu, sesungguhnya jauh lebih efektif dan berbiaya murah untuk menambah kemampuan setiap pengerja di HKBP. Dengan itu, bukan berarti kita sedang bepretensi negatif  untuk mengatakan, bahwa seakan-akan pendidikan dalam rangkain pencapaian  ‘academic degrees’ tidak perlu. Melainkan hendak mengatakan, apabila dilihat dari segi urgensi kebutuhan jemaat, maka yang diperlukan adalah : kemampuan-kemampuan pendukung lainnya yang jauh lebih praktis kegunaannya, contoh : pelatihan analisis SWOT, pelatihan advokasi, pelatihan pertanian, pelatihan CU, pelatihan jurnalistik, pelatihan membuat laporan/menyusun proposal, pelatihan berkhotbah aktual dll. Sedangkan pengembangan gelar akademis S-2 dan S-3 sebaiknya sudah perlu ditata berdasarkan kebutuhan HKBP dalam berbagai kepentingan, apakah : dunia kampus, penelitian, lembaga-lembaga lain.  Penataan itu akan memberi disparitas jurusan yang diperlukan untuk kepentingan HKBP secara keseluruhan. Sehingga, setidaknya kita boleh ‘manangani’ perburuan gelar akademis, bukan berdasarkan keperluan, namun semata-mata tuntutan karena semakin tingginya ‘persaingan’ sesama pelayanan penuh waktu untuk mendapatkan tempat-pos pelayanan/jabatan. Mudah-mudahan dengan cara seperti itu, maka alokasi jurusan yang diambil dalam pendidikan pasca sarjana tidak memusat pada satu jurusan di dalam lapangan teologi, seperti : ilmu agama-agama sebagai misal.

Permenungan : Mengubah mentalitas dan pola pikir pelayan mewujudkan 3P di tengah kemajemukan

Pada akhirnya, percakapan, perdebatan dan pergumulan kita sepanjang tiga hari ini, akan lebih bermamfaat  atau lebih optimal apabila hati, pikiran dan mentalitas kita yang lama,  bersedia untuk dirubah menuju sikap positif, terbuka, kreatif dan konstruktif. Sikap seperti ini, jelasnya akan membuka hati, pikiran dan jiwa kita, meminjam istilah Paul Tillich “courage to be”, paling tidak berani masuk dalam khazanah hidup yang lebih terbuka, untuk melanjutkan kehidupan bersama dengan orang lain dalam  konsep ‘open society’. HKBP, khususnya pelayannya akan bersenang hati untuk ‘menyemai’ kesungguhan untuk menggali kembali secara tidak berkesudahan potensi/asset pelayanan yang ada di jemaat. Kita akan lebih rajin, sungguh dan bekerja keras untuk menggali sumber-sumber pelayanan yang actual dalam konteks kehidupan jemaat bertemu dengan kemajemukan masyarakat sekitar kita.

Perubahan mentalitas ( menurut Mochtar Lubis, ada ciri-ciri manusia Indonesia : 1). Munafik, lain di depan, lain di belakang, 2). Kurang bertanggungjawab, melemparkan kesalahan pada orang lain, 3). Harus selalu dihormati, 4). Masih percaya pada tahyul, 5). Artistik, yaitu : membuat orang lain senang, karena itu selalu memperlihatkan yang baik, indah serta mempesona untuk dipandang,  sehingga tidak mau siapa pun melihat hal-hal jelek, tidak baik, dan buruk dari dalam dir, 6). Watak lemah, tidak bertahan pada prinsipnya, 7). Boros, 8). Tidak suka bekerja keras, 9). Kurang sabar, 10). Dengki/cemburu )  memerlukan kesunguhan, tekad, bahkan resiko atas diri kita sendiri.  Kebiasan-kebiasan buruk praktis harus ditinggalkan. Kita akan lebih berani keluar dari kungkungan diri kita yang menghambat ‘aksaptabilitas pada pembaruan, perdamaian dan pemberdayaan itu. Untuk itulah  agenda pelayanan kita sebagai gereja, tentu tidak lagi hanya bercermin ke dalam dirinya ( baca : introvert ), melainkan juga dapat memancar keluar dirinya ( ekstrovert ). Wajah pelayanan kita tidak cukup hanya memperkuat persekutuan di dalam gereja kita, namun harus mampu memancarkan wajahnya dalam membangun kehidupan bersama orang lain. Lantas, pertanyaanya, apakah agenda-agenda pelayanan yang boleh dikerjakan bersama dengan komunitas agama lain ? Dalam rangka merajut keindonesiaan, maka agenda pelayanan bersama dalam hubungan inter-faith, antara lain : mencari pernyataan-pernyataan iman masing-masing agama dalam menyikapi : suap, korupsi, diskriminasi : agama, seksual, suku/etnik, kekerasan, dll. Masing-masing komunitas agama harus memperjuangkan itu masuk sebagai masukan resmi bagi pemerintah dan digunakan dalam menjalankan dan merawat kehidupan public. Indonesia yang dibayangkan akan hidup menjadi kesatuan yang harmonis dan hidup dalam kerukunan.

Selain itu, peningkatankan pelayanan lainnya yang boleh kita kembangkan dalam konteks kemajemukan adalah, gerakan bersama komunitas agama dalam menyelamatkan bumi/ekosistem kita. Komunitas agama boleh mencari akar-akar ajaran yang memberi tekanan dalam merawat planet/globe kita ini. HKBP, dengan demikian juga terpanggil untuk merevitalisasi liturgy/ibadahnya, agar direposisikan dalam konteks pemeliharaan lingkungan dan menjaga keutuhan ciptaan. Selain itu dalam kerangka membangun toleransi dan dialog keadaban agama, perlu merevisi doa-dalam liturgy HKBP, untuk ‘membebaskannya’ dari sikap sinis terhadap agama, bahkan aliran kepercayaan lain.

Jadi jelaslah bahwa HKBP, sudah waktunya untuk lebih banyak mengambil inisiatif dalam berbagai gerakan oikumene, baik di level persekutuan gereja-gereja di Indonesia, CCA, UEM,  LWF, WCC. Peran kita di lembaga-lembaga oikumenis ini selama 3 dasawarsa terakhir ini terlihat menurun. Mudah-mudahan ke depan HKBP lebih sungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadiri sidang Gereja se-dunia di Pusan, Korea tahun 2013 ini atau dalam rangka jubileum 500 tahun Reformasi 2017 di Afrika. Terutama kontribusi pemikiran, setidaknya menentang  masuknya agenda gerakan hak-hak sipil yang terus diperjuangkan gereja-gereja di Eropa, terutama tentang same sex marriage ( perkawinan sejenis ).

Sebab kita yakini dengan sungguh, bahwa perubahan itu akan dapat  membawa kita, HKBP khususnya untuk  mencapai kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik dan mensejahterakan di masa depan. Apabila kualitas seperti itu telah dapat dihasilkan, maka tugas kita untuk menjadi rekonsiliator, semacam  agen perdamaian yang mampu menjembati perbedaan, bahkan mampu menghentikan segala kekerasan, sehingga  hidup kita berdampak  dan menjadi berkat  bagi orang lain, justru akan semakin melengkapi gereja kita menjadi berkat bagi semua orang. Kesadaran baru semacam itu, seperti beberapa kali saya tekankan, sangat ditentukan oleh kemampuan seluruh pelayanan HKBP untuk merubah cara pandang, dan merubah mentalitas lamanya, dengan mentalitas yang baru, yang lebih terbuka, bersikap toleran, lentur berelasi dengan orang lain dan cakap dalam menangkap kemungkinan baru bagi peningkatan pelayanan di dalam konteks kemajemukan. Kehadiran HKBP mampu menjadi berkat untuk semua.

*) Disampaikan pada Acara Rapat Pendeta HKBP Distrik XVIII Jabartengdiy 21-13 Agustus 2013

Pdt.Maulinus Siregar – melayani di HKBP Bandung, Ressort Bandung Riau Martadinata

 

Referensi

Barret, CK, Church, Ministry, & Sacraments in the New Testament. The Paternoster Press, 1985

Coward, Harold, Pluralisme, tantangan bagi agama-agama. Kanisius, 1989

Greenway E.J and Green, J.B ( ede ), Grace and holiness in a changing world, Abingdon Press, Nashville, 2007

Hendriks, Jan. Jemaat Vital dan menarik. Kanisius, 2002

Kallestad, Walter and Schey Steve L. Total quality Ministry, Prentice Hall.Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 1994

Moltman, Juergen. Experiences in theology. Ways and forms of Christian theology. Fortess Press, Minneapolis, 2000

Nainggolan, Binsar. The Social Involvement of Adolf von Harnack, A critical Assessment. Roderer Verlag, Regensburg, 2005

Pakpahan, Binsar. God Remembers, towards a Theology of remembrance as a basis of reconciliation in communal conflict. VU University Press, 2012

Rajashekar, Lily Wu and Pongsak ( ed ). Asian Lutheranism : which way ?. ELCA Commission for multicultural Ministries, Departement for Asian ministries, Chicago, 2000

Singgih, E.G. Berteologi dalam Konteks. Kanisius, 2000

Sumber : http://hkbp.or.id/mengembangkan-pelayanan-dengan-pilar-pembaruan-perdamaian-dan-pemberdayaan-di-tengah-tengah-masyarakat-majemuk/

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply